Rabu, 01 Agustus 2012

Warga Banyuurip Tuntut Pembatalan SPPT Laut


GRESIK-Warga Desa Banyuurip Kecamatan Ujungpangkah yang tergabung dalam Forum Masyarakat Banyuurip (FMB) menuntut agar oknum-oknum yang terlibat dalam rekayasa jual-beli kavlingan lahan pantai di desanya, diproses sesuai hukum yang berlaku. Selain itu, mereka menuntut pemutihan atau pembatalan SPPT (surat pemberitahuan pajak terutang) atas kavlingan lahan pantai tersebut dan dikembalikan sebagaimana fungsinya. Sebab, kavlingan lahan pantai itu merugikan masyarakat.

“Saat ini, banyak provokasi dari pihak-pihak luar yang berpotensi menyulut emosi warga. Untuk itu, kami minta SPPT dibatalkan dan oknum yang terlibat harus ditindak sesuai dengan hukum yang berlaku,”ungkap Nafishul Athok, perwakilan dari FMB dalam hearing dengan Komisi A DPRD Gresik, Rabu (01/8).

Selain mengundang perwakilan warga, hearing juga dihadiri Kepala Badan Pertanahan (BPN) Gresik, Heru Haryono SH, Kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Gresik, Dra. Yetty Srisuparyati MM, Camat Ujungpangkah Suyono maupun Kepala Desa Banyuurip, Millatul Masfufah.

Tuntutan dari perwakilan warga tersebut mendapat dukungan dari Komisi A DPRD Gresik. H. Abdul Qodir, S.Pd. I yang memimpin hearing  mengungkapkan, bahwa, meski tanah dan air yang berlokasi di pantai Banyuurip yang sudah ada SPPT bisa dibatalkan. Sebab, BPN Gresik mengaku tidak tahu menahu permasalahan tersebut. Begitu juga DPPKAD Gresik baru mendapatkan data tentang Pethok D yang sudah terbit SPPT. Camat juga tidak pernah mengeluarkan pethok D disitu.

“SPPT itu, terbit berdasarkan Pethok D yang dibuat oleh kepala desa yang diajukan kepada Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Gresik. Padahal, camat maupun BPN tidak tahu menahu adanya Pethok D itu.  SPPT yang sudah terlanjur ada, masih dapat dibatalkan kalau tidak benar. Tapi, tidak spontan bisa dibatalkan. Ada prosesnya yang harus dilalui,” kata politisi PKB itu.

Namun,  pembatalan SPPT tersebut diprediksi  bakal menimbulkan persoalan baru. Sebab, sebanyak 33 SPPT atas 83 hektar kavlingan lahan pantai di Desa Banyuurip tersebut, ada 9 orang pemilik SPPT baru sudah mengeluarkan uang sekitar Rp. 200.000,000,-  perkavling. Celakanya, ada dana sekitar Rp. 327.000.000,- yang masuk ke desa sebagai peredam kejahatan dan telah digunakan untuk pemnbangunan di desa.

 “Kalau SPPT diputihkan atau dibatalkan, maka uang yang sudah terlanjur masuk ke desa harus dikembalikan. Pihak yang menerima harus mengembalikan. Termasuk kalu sudah digunakan untuk membangun desa, siapa yang tanggungjawab untuk mengembalikan,” ungkap anggota Komisi A, Khoirul Huda dengan ekpresi serius.

Sementara itu, Kades Banyuurip Millatul Masfufah ketika dikonfirmasi seusai hearing mengaku telah menyerahkan persoalan tersebut kepada Pemkab Gresik. Termasuk, jika direkomendasikan untuk mengembalikan dana sewa yang sudah dibuat pembangunan fasilitas Desa Banyuurip sebesar Rp327.000.000,- maka menjadi tanggungan Pemkab Gresik.

“Karena sudah kami serahkan, seandainya disuruh mengembalikannya, ya menjadi tanggungjawab Pemkab,” tukasnya dengan nada enteng.

Tak pelak, pernyataan Kades Banyuurip tersebut membuat Kepala DPPKAD Gresik, Yetty Sri Suparyati meradang. Menurutnya, permasalahan yang terjadi tidak bisa semudah itu melimpahkan ke pemkab. Sebab, pembayaran pajak berdasarkan SPPT ke pemerintah pusat, bukan ke daerah. Baru tahun 2012 ini kewenangan PBB dan BPHTB dilimpahkan ke daerah.

“Kami uang darimana untuk mengembalikan. Kan, desa yang memakai. Ya, harus desa yang mengembalikan. Apalagi dasar terbitnya SPPT atas lahan pantai itu, kepala desa yang mengeluarkan,” tegasnya.

Sebagiamana diketahui, Komisi A telah melakukan uji petik di sepanjang lahan pantai Desa Banyuurip Kecamatan Ujungpangkah. Hasilnya, ada sekitar 83 hektar laut yang dikavling sejak tahun 2005 silam. Sebab, ketika air surut tetap tidak terlihat pantai. Anehnya, ada yang mengajukan SPPT ke KPP Gresik. Bahkan, SPPT yang diterbitkan oleh KPP luasnya 2 hektar dan ada yang kurang. Jumlah SPPT-nya ada 33 kapling. Setiap kapling disewakan kepada pihak ketiga. Uang sewa dibagi-bagi oknum dan desa. Rinciannya yakni desa mendapat 50 persen, 25 persen untuk pemilik SPPT lama dan selebihnya untuk mantan Kades M Mundzir yang menjadi inisiator kavling laut dan kebijakannya diteruskan oleh Kades pengganti Millatul Masfudfah. (sho)


1 komentar: